NA.PDMGK.ORG; Tidak lengkap jika membicarakan Indonesia maju kalau belum bicara masalah kemiskinan, kesetaraan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Apalagi dengan tingginya angka kemiskinan, masih rendahnya akses pendidikan, serta tingginya disparitas, dan masih banyaknya permasalahan yang mengancam masyarakat Indonesia. Sandang pangan mahal, pendidikan tinggi yang masih susah diakses oleh masyarakat miskin, penghasilan yang rendah, berbenturan dengan tantangan bonus demografi di Indonesia.
Indonesia digadang-gadang akan memiliki bonus demografi. Bappenas menyatakan bahwa pada 2030-2040, Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Sementara itu, pada tahun 2045 Indonesia akan menyambut usia emas 100 tahun. Guna memaksimalkan bonus demografi, pemerintah melakukan berbagai upaya peningkatan kualitas dari sisi kesehatan, pendidikan dan keterampilan, termasuk kaitannya dalam menghadapi keterbukaan pasar tenaga kerja.
Dalam menjawab permasalahan tersebut, presiden dan wakil presiden terpilih yaitu Prabowo-Gibran dimana sebelumnya mereka menjadi pasangan urut nomor dua dalam kontesasi pilihan presiden, menawarkan solusi berupa pemberian makan siang gratis dan susu gratis di sekolah dan pesantren serta bantuan gizi untuk anak balita dan ibu hamil sebagai salah satu program yang sangat kencang digaungkan. Menurut mereka, stunting adalah masalah konkret dan mendesak yang harus segera ditangani langsung dan massal oleh pemerintah untuk memastikan tercapainya kualitas SDM dan kualitas hidup yang baik.
Kemenkes menyebut bahwa stunting adalah ancaman masa depan, dimana kasus stunting banyak ditemukan di daerah dengan kemiskinan tinggi dan tingkat pendidikan yang rendah. Besarnya prevelensi stunting di Indonesia menurut Kemenkes yaitu turun dari 24,4% di tahun 2021 menjadi 21,6% di 2022. Angka tersebut merupakan yang terendah selama sedekade terakhir. Namun angka ini masih tinggi dibandingkan standar target WHO yaitu dibawah 20%. Tingginya prevelensi stunting bukan pertama kalinya di Indonesia. Namun sudah bertahun-tahun angka penderita stunting tinggi, terutama pada balita dan anak-anak.
Fanny, Nadia, dan Alisa dalam penelitiannya mengenai “Dampak Makan Siang Gratis Pada Kondisi Keuangan Negara Dan Peningkatan Mutu Pendidikan”, menyebutkan bahwa sebelum program makan siang gratis, pemerintah memiliki tiga program untuk mengurangi stunting pada balita dan anak-anak. Menurut Kementrian Kesehatan Indonesia, program pertama yaitu Gemaz (Generasi Emas Bebas Anemia dan Zero New Stunting), mengajarkan remaja tentang pentingnya gizi seimbang. Kedua adalah program USG yang diberikan di semua puskesmas untuk pemeriksaan bagi ibu hamil untuk pengukuran gizi dan zat besi. Lalu yang terakhir ada Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang bertujuan untuk meningkatkan status gizi anak dan meningkatkan gizi masyarakat. Program ini akan dikembangkan dan pada akhirnya menjadi salah satu program unggulan calon presiden dan wakil presiden nomor urut dua.
Solusi yang diupayakan pemerintah sangat bisa dimengerti. Begitupun solusi yang ditawarkan oleh pasangan Prabowo-Gibran sangat menjanjikan, terlebih dalam mengurangi prevelensi stunting dan meningkatkan gizi anak-anak dan ibu hamil. Anak-anak tidak perlu lagi merasa kelaparan saat sekolah sehingga bisa lebih fokus dalam belajar, serta ibu hamil dan anak balita tercukupi gizi dan perawatan tumbuh kembangnya.
Namun beberapa ekonom menyatakan bahwa program ini akan menambah beban berat Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Mohammad Faisal mengatakan bahwa setidaknya terdapat tiga kemungkinan dampak yang akan terjadi, pertama adalah pemerintah akan menggeser anggaran lainnya untuk menjalankan makan siang gratis ini, kedua adalah menaikkan penerimaan pendapatan, dan ketiga adalah memperlebar defisit alias menambah hutang.
Menurut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), dikutip oleh Firdaus Baderi, terkait pemberitaan alokasi dana program makan siang gratis untuk anak sekolah dan ibu hamil menggunakan Dana BOS, bahwa implementasi Dana BOS selama ini belum optimal. Pada tahun 2020, alokasi Dana BOS Reguler sebesar Rp50 triliun, BOS Afirmasi sebesar Rp2 triliun, dan BOS Kinerja sebesar Rp1,2 triliun, dimana mayoritas penggunaannya untuk pembayaran gaji guru dan tenaga pendidik honorer. Namun penggunaan Dana BOS tersebut belum optimal mensejahterakan guru, memperbaiki fasilitas sekolah, dan meningkatkan pendidikan.
Oleh karena itu, penggunaan dana BOS, khususnya untuk perbaikan sarana dan prasarana sekolah, sangat penting. Peneliti CIPS berpendapat bahwa dana BOS seharusnya diarahkan terutama pada peningkatan aksesibilitas dan kualitas pendidikan, terutama mengingat ketimpangan yang masih cukup besar di Indonesia. Jika sasaran program makan siang gratis adalah pada penanganan stunting, hal ini juga penting. Namun, dana untuk program ini harus diberikan melalui anggaran lain, misalnya seperti dana desa yang sudah berfokus pada program stunting. Dengan adanya permasalahan terkait alokasi dana program makan siang gratis tersebut maka diperlukan evaluasi lebih dalam dan menyeluruh oleh berbagai pihak. Seperti yang dikatakan oleh beberapa ekonom bahwa program ini tidak perlu terburu-buru dieksekusi. Disisi lain, masyarakat juga harus ikut serta mengawasi proses jalannya program makan siang gratis untuk anak-anak, ibu hamil dan balita ini.
Leave a Reply